Oleh: Faisal Amri Al-Azhari, M.Ag
(Pengurus BIM-Dosen AIK UMSU, Wakil Ketua PDM Langkat)
Masalah bacaan Alquran untuk orang meninggal telah menjadi perdebatan di kalangan ulama sejak abad pertama Hijriyah. Kalau diteliti secara seksama dari dalil ayat dan hadis tidak kita dapati untuk dijadikan dasar kuat dalam melakukannya.
Tuntunan yang ada adalah mendoakan si mayit bukan mengirimkan bacaan Alquran, yang tersebut dalam ayat 10 surah al-Hasyr:
…. رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَٰنِ …
…”Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami,…
Kalau itu yang dijadikan dasar, ayat itu sebenarnya bisa lebih pada tuntunan mendoakan orang yang telah meninggal yaitu salat jenazah. Bukan menghadiahkan bacaan Alquran (dalam hal ini kirim surah al-fatihah) untuk orang lain. Orang yang membaca Alquran mendapat pahala tetapi kalau pahalanya dihadiahkan kepada orang lain, itulah yang tidak ada tuntunannya.
Bahkan bertentangan dengan beberapa ayat, seperti surah an-Najm ayat 38:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Begitu juga hadis:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
dan hadis:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
(Lihat; Tanya Jawab Agama 1 , h. 211-212)
Dalam HPT halaman 258 ditegaskan:
لِقَوْلِهِ تَعَالَى: الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ -البقرة: 156 وَلِحَدِيْثِ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّها قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ : ” إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا”، إِلاَّ آجَرَهُ بهِ فِي مُصِيبَتِهِ وَخَلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا .رَوَاهُ أَحْمَدُ وَ مُسْلِمٌ وَ ابْنُ مَاجَهَ.
“Menilik firman Allah Ta’ala: Bilamana mereka mendapat malapetaka, berkatalah: ” Inna- lilla-hi wa inna- ilaihi ra-ji’u-n”, (Sungguh kami kepunyaan Allah dan sungguh kami akan kembali kepada-Nya)”. (QS. al-Baqarah: 156). Lagi menilik hadits Ummi Salamah, bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Kalau seorang hamba terkena malapetaka lalu berdo’a: “Innalilla-hi wa inna- ilaihi ra-ji’u-n. Alla-humma ajirni- fi- mushi-batiwakhluf li- khairan minha”, tentulah Allah memberikan pahala dan ganti kebaikan kepadanya ….. seterusnya hadits. (HR. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah).
Hadis Ummu Salamah tersebut juga ditegaskan kembali dalam HPT 3 halaman 67, bahwa tuntunan ketika menghadapi cobaan atau merawat orang yang meninggal adalah dengan membaca doa tersebut. Itulah tuntunan dari Alquran dan hadis. Tidak di dapati hadis untuk membaca atau kirim al-fatihah.
Lalu HPT juga membawa riwayat berbeda sebagai tuntunan doa lain, selain doa di atas:
لِحَدِيْثِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى بَنَاتِهِ تَدْعُوهُ وَتُخْبِرُهُ أَنَّ صَبِيا لَهَا أَوْ فِي الْمَوْتِ، فَقَالَ الرَّسُولُ: ارْجِعْ إِلَيْهَا فَأَخْبِرْهَا أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَ كُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمى، فَمُرْهَا وَلْتَحْتَسِبْ. الْحَدِيْث. (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَ الْبُخَارِيُّ و مُسْلِمٌ). وَلِحَدِيْثِ أَنَسٍ قَالَ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ: اتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي. الْحَدِيْثَ. رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ
“Menurut hadits Usamah bin Zaid, katanya: “Kami sedang dihadapan Nabi saw. maka seorang anak perempuan beliau memanggilnya dan mengabarkannya bahwa seorang anaknya dalam sakaratul maut, maka sabda Nabi saw.: “Kembalilah padanya dan beritahukanlah adalah haknya Allah untuk mengambil dan memberi. Segala sesuatu itu ada batas ketentuannya. Suruhlah ia mengharapkan pahala Tuhan ….. seterusnya hadits. (HR al-Bukhari dan Muslim). (Lihat juga; HPT, h. 234)
Jadi, membaca al-Fatihah itu sesuai dengan sunnahnya adalah pada salat jenazah bukan mengirimkan bacaan al-Fatihah kepada jenazah apalagi di sembarang waktu. Yang tersebut dalam hadis adalah membaca al-Fatihah pada saat salat mayit di takbir pertama. (Lihat HPT 1, h. 230 pada Kaifiyat Salat Mayit)
Kenapa Muhammadiyah tidak mengamalkan kirim al-Fatihah kepada mayit baik di acara tahlil (genduri arwah) apalagi yang di sembarang tempat itu karena hal ini adalah bagian dari ibadah. Dan ibadah harus terikat dengan dalil. Adanya dalil untuk melakukan itu baru boleh kita mengamalkannya.
Ibadah itu diamalkan syaratnya segala yang diizinkan Allah, sesuai definisi ibadah. (Lihat; HPT, h. 278-279). Karena tidak ada penjelasan atau dalil dalam hal kirim al-Fatihah maka tidak bisa diamalkan.
Dalam surah an-Najm ayat 37-38 diterangkan bahwa manusia itu memperoleh apa yang diusahakannya. Hadis riwayat Muslim menegaskan terputusnya amal anak adam kecuali tiga perkara yaitu doa anaknya yang saleh, sedekah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat. Dan surah al-Hasyr ayat 10 menegaskan bahwa amalan orang lain bisa sampai kepada orang yang meninggal dunia yaitu doa dan istigfar (memohonkan ampunan).
Oleh karena inilah Rasulullah tidak menganjurkan umatnya untuk menghadiahkan pahala bacaan kepada orang mati, baik dengan perintah tegas maupun tidak tegas. Dan tidak pula oleh sahabatnya yang mengerjakan demikian itu. Kalau mengahdiahkan pahala bacaan kepada orang mati adalah satu kebajikan, tentulah sahabat-sahabat Nabi saw telah mengerjakannya, Demikian penjelasan Ibn Kasir dalam tafsirnya.
Sesungguhnya letak perbedaan pendapat di antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin dari golongan Malikiyah, yaitu selama bacaan itu tidak keluar dari koridor tempat doa, agar pembaca membaca sebelum membaca Alquran itu; “Ya Allah, jadikanlah pahala yang aku baca ini untuk si fulan …”. Demikian keterangan Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid nya.
Mengirimkan “bacaan al-Fatihah” termasuk dari bagian keterangan Ibn Rusyd.
Jadi, jelas bahwa berbeda antara berdoa dengan menghadiahkan pahala lewat doa. Menghadiahkan pahala lewat doa tidak ada tuntunannya. ( Tanya Jawab Agama 6, h. 137-138)
Adapun seseorang mendoakan orang lain baik yang masih hidup maupun yang meninggal, tidak ada masalah sama sekali. Yang jadi masalah adalah menghadiahkan pahala amal bagi orang lain.
Hal yang kiranya sangat penting disebutkan ialah bahwa menganut pendapat dapat sampainya hadiah pahala amal kebajikan kepada orang lain, sering berakibat negatif. Orang yang kurang beramal saleh menjagakan pahala dari orang lain. Kaidah umum yang tercantum dalam di dalam Alquran tentang manusia hanya memetik amal yang dilakukan sendiri mendorong orang nutk memperbanyak berbuat kebaikan, tidak mengharap kiriman pahala orang lain. ( Tanya Jawab Agama 2, h. 176)
Tidak hanya membaca al-Fatihah untuk dikirim kepada si mayit. Membaca surah lain seperti Yasin juga tidak ada tuntunannya. Bahkan bacaan Yasin pada orang hampir mati itu tiada dasar yang sahih. (HPT 1, h. 237 dalil nomor 5. Tanya Jawab Agama 6, h. 128-129).
Ini menunjukkan orang hampir meninggal saja untuk dibacakan Alquran (baik itu al-Fatihah atau Yasin) tidak dibenarkan apalagi yang sudah meninggal.
Tidak ada pengamalan bacaan Alquran itu untuk orang yang meninggal. Yang ada membaca seperti surah Yasin, al-Waqi’ah dan al-Mulk dibaca oleh kita yang hidup untuk diri kita sendiri, sebagaimana yang dijelaskan Prof TM Hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya Pedoman Zikir dan Doa. (Lihat; Tanya Jawab Agama 6, h. 128-129)
Jadi, pengamalan bacaan ayat Alquran adalah untuk diri sendiri lalu ditadabburi tidak hanya sekedar membaca tanpa memahami arti dan maksudnya sebagaimana ditegaskan dalam Tafsir at-Tanwir halaman 428.
Dan Memang hal ini bukan ciri dari amaliyah Muhammadiyah yang hanya sekedar ritual membaca tanpa makna apalagi menghadiahkan bacaan tertentu untuk orang yang meninggal. Jelas ini tidak sesuai spirit Muhammadiyah yang Berkemajuan yang optimis memikirkan yang hidup. Mengaplikasikan ayat dalam kehidupan nyata.
Orang yang membolehkan kirim bacaan (dalam hal ini surah al-fatihah) adalah menyamakan dengan doa (dalam soal ta’abbudi boleh dimasuki ijtihadi). Padahal tidak demikian.
Soal doa adalah soal ibadah. ( Tanya Jawab Agama 2, h. 177).
Doa adalah termasuk ibadah dalam arti khusus/sempit. Doa itu bukan budaya (adat kebiasaan) seperti sebagian orang. Muhammadiyah sesuai manhajnya dalam urusan ibadah khusus (ta’abbudy atau lazim disebut orang sekarang dengan istilah ritual) tidak boleh mempergunakan ijtihad, tetapi harus menggunakan nash Alquran dan as-Sunnah al-Maqbulah. (Tanya Jawab Agama 6, h. 137)
Jadi, Nabi saw dalam amalannya terhadap orang yang meninggal mulai dari ketika mendengar kabar wafatnya seseoarang, menyolatkan, sampai proses penguburan semuanya dalam bentuk mendoakan dan memohonkan ampunan bagi yang meninggal bukan mengirimkan pahala bacaan tertentu. Khusus dalam selesai penguburan pun Nabi mengajarkan memintakan. ampunan dan afiyat. (HPT 1, h. 235) Tidak didapati ritual kirim al-Fatihah ataupun talqin setalah penguburan jenazah.
Adapun doanya yang diajarkan secara tegas dalam HPT di atas adalah:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
اللَّهُمَّ أجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَ كُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمى.
Bisa juga doa yang ditujukan baik untuk yang masih hidup dan yang telah mati, seperti dalam Alquran dan dalam hadis Ahmad dan Ashabusunan dari Abu Hurairah, sebagaimana dijelaskan di Fatwa Tarjih dalam Tanya Jawab Agama 2, h. 178. Dimana doa ini biasa juga diamalkan dalam salat jenazah:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا، اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِسْلامِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى اْلإِيمَانِ.
Atau doa umum yang tersebut dalam Alquran surah al-Hasyr ayat 10:
رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ. []
Allahu A’lam
>>>>>
Al-Maraji’:
– Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih 1
– PP Muhammadiyah , Himpunan Putusan Tarjih 3
– Tim MTT PP Muhammaadiyah, Tanya Jawab Agama 1
– Tim MTT PP Muhammaadiyah, Tanya Jawab Agama 2
– Tim MTT PP Muhammaadiyah, Tanya Jawab Agama 6
– Tim MTT PP Muhammaadiyah, Tafsir at-Tanwir