Larangan Memperoleh Harta dengan Cara yang Tidak Benar (Surat Al-Baqarah Ayat 188)
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
188. Janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
Mencermati keterkaitan (munāsabah) antara ayat-ayat sebelumnya tentang puasa dengan ayat 188-195 dalam Surah al-Baqarah ini, Allah menjelaskan dalam ayat yang lampau tentang diperbolehkannya bagi seorang mukmin menikmati makanan, minuman, dan kumpul dengan istri di malam-malam Ramadan. Kemudian pada ayat ini Allah menegaskan larangan untuk memakan harta yang tidak halal. Hal itu karena seorang muslim diharamkan makan makanan haram, baik di siang hari maupun di malam hari dan di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan.
Kata bathil (باطل) dalam Al-Qur’an disebut dua puluh enam kali dalam dua puluh lima ayat. Makna kata bathil secara etimologis adalah za il dan dzāhib (lenyap dan pergi). Secara terminologis, bahwa seseorang yang makan harta orang lain tidak sesuai dengan aturan syari’ah berarti dia makan secara bāthil. Perilaku makan harta orang lain secara bathil terdapat dalam dua bentuk. Pertama, mengambil harta orang lain melalui kezaliman, pencurian, pemaksaan dan cara-cara lain yang senada dengannya. Kedua, mengambil harta orang lain secara terlarang seperti perjudian dan mengadu nasib.
Sementara itu, kata tudlu (تذلوا) berasal dari adla – yudli (أذلى – يُدْلِي) berarti melempar ember ke dalam sumur untuk mencari air, seperti dalam Surah Yūsuf (12): 19, seseorang diperintah mengambil air, lalu ia memasukkan ember ke dalam sumur (فَادْلًى دَلْواه) . Yang dimaksudkan dengan kata tudlü biha ilal hukkam (تُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحَكَّامِ ) adalah pengajuan suatu perkara kepada penguasa atau hakim dengan memberikan atau mengiming-imingi sejumlah harta sehingga dapat mempengaruhi keputusan hakim tersebut untuk menguasai atau mengambil harta orang lain secara tidak benar.
Larangan untuk memakan harta yang diperoleh secara tidak halal, ditegaskan juga oleh Allah pada Surah al-Nisa’ (4): 10 dan 29 sebagai berikut,
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِي بُطُوْنِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api neraka yang menyala-nyala (Q.S. al-Nisa’ [4]: 10).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ تَجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu, Janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (Q.S. al-Nisa’ [4]: 29).
Perlu diketahui mengapa Allah ketika menyinggung masalah mal (harta) yang bentuk jamaknya amwal dikaitkan secara majazi (kiasan) dengan kata al- aki (makan). Hal itu menunjukkan bahwa manusia begitu serakahnya terhadap harta sehingga disimbolkan dengan istilah makan, karena nafsu yang paling pertama dan paling sering dilakukan adalah “makan”. Makanan itu erat sekali dengan istilah al-bathn (perut), sehingga orang yang perutnya lapar karena kemiskinannya, terkadang melakukan perbuatan yang negatif.
Menurut al-Thabathabā’ī, pemaknaan istilah “makan” secara majazi karena makan merupakan pekerjaan yang paling dekat dengan kebutuhan biologis sejak seseorang dilahirkan. Perkembangan sifat biologis manusia kemudian selalu mencari sesuatu untuk memenuhi hajat kesehariannya, seperti pakaian, tempat tinggal, pernikahan dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini pada gilirannya akan mendorong manusia untuk selalu mengejar harta sebanyak mungkin, meskipun terkadang dilakukan dengan cara yang tidak halal. Perilaku manusia dalam kehidupan sering kehilangan kontrol demi mencapai tujuan, berbagai cara dilakukan tanpa memikirkan akibat negatif yang ditimbulkannya baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Perilaku di atas tidak tepat disandang oleh orang yang beriman.
Banyak orang yang hanya menginginkan tercapainya tujuan tanpa menghiraukan cara yang ditempuhnya. Cara yang tidak benar akan menghasilkan sesuatu yang tidak benar pula. Dengan mencermati hal yang demikian, setiap orang diharapkan bisa berfikir, mengerti, dan menyadari untuk menjauhi hal tersebut dan kemudian bertaubat.
Berhubungan dengan hal di atas, disebutkan dalam sebuah hadis Rasulullah saw,
عَنْ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – سَمِعَ جَلَبَةَ خَصْمٍ بِبَابِ حُجْرَتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ إِنَّمَا أَنَا بَشَرُ وَإِنَّهُ يَأْتِينِي الْخَصْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَهُمْ أَنْ يَكُوْنَ أَبْلَغَ مِنْ بَعْضٍ فَأَحْسِبُ أَنَّهُ صَادِقٌ فَأَقْضِي لَهُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ فَلْيَحْمِلْهَا أَوْ يَذَرْهَا
Dari Ummu Salamah istri Nabi saw. (diriwayatkan), bahwa Rasulullah saw, mendengar suara orang yang sedang adu mulut di depan pintu kamar beliau, lalu beliau keluar menemui mereka seraya bersabda: “Aku ini hanya seorang manusia biasa, namun banyak orang yang membawa perkaranya kepadaku, sedangkan satu pihak di antara mereka ada yang lebih pandai berbicara sehingga aku mengira dialah yang benar, lalu kuputuskan dialah yang menang atas lawannya, oleh karena itu, siapa yang aku menangkan perkaranya di atas hak seorang muslim, sesungguhnya itu merupakan sepotong api dari neraka, sehingga ia boleh membawanya atau meninggalkannya” (H.R. al-Bukhārī dan Muslim).
Dengan demikian, ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa keputusan hakim itu sesungguhnya tidak dapat merubah sedikitpun hukum sesuatu, tidak membuat sesuatu yang sebenarnya haram menjadi halal atau yang halal menjadi haram, hanya saja sang hakim terikat pada apa yang tampak dari perkara yang diadilinya. Jika putusan hakim itu sesuai dengan fakta yang sesungguhnya, maka itulah yang dikehendaki, dan jika tidak sesuai maka hakim tetap memperoleh pahala dan bagi yang melakukan tipu muslihat memperoleh dosa.
Gabungan antara dua kata “makan” dan “harta” tidak bisa dipisahkan. Jika perilaku yang ditimbulkan kedua istilah tersebut tidak sesuai dengan aturan Allah, maka yang terjadi adalah penyelewengan, seperti terjadinya penyuapan, korupsi, pencucian uang, pungli dan lain sebagainya. Di antara cara yang tidak dibenarkan dalam memperoleh harta adalah dengan cara mengajukan suatu permasalahan kepada penguasa dengan sejumlah risywah (sogokan). Rasulullah melaknat perbuatan penyogokan itu seperti diterangkan dalam hadis beliau:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِي
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr (diriwayatkan), dia berkata bahwa Rasulullah saw melaknat orang yang memberi suap dan menerima suap (H.R. al-Tirmidzi).
Allah melarang perbuatan risywah (penyogokan), karena pada hakikatnya perbuatan tersebut akan menyengsarakan orang lain sebagaimana telah lazim diketahui secara umum seperti tersurat pada ujung ayat 188 Surah al-Baqarah ini, yaitu firman Allah wa antum talamin (sedang kalian mengetahuinya). Ujung ayat tersebut merupakan sindiran dari Allah kepada orang yang melakukan keburukan padahal orang tersebut telah menyadari keburukan perbuatannya itu.
Upaya-upaya yang dilakukan orang untuk mendapatkan keuntungan materiel dengan cara yang tidak baik (risywah) merupakan sebuah tindakan manusia yang hanya memenuhi kebutuhan terendahnya, yakni kebutuhan materi. Menurut Psikolog Amerika Abraham Maslow, manusia mempunyai tingkatan-tingkatan kebutuhan yakni kebutuhan fisiologis (the physiological needs), rasa aman (the safety needs), kebutuhan kasih sayang (the love needs), penghargaan (the esteem needs), dan aktualisasi diri (the self-actualization needs). Kebutuhan fiologis merupakan kebutuhan yang sifatnya materiel yakni kebutuhan makan, minum, seksualitas, dan lain sebagainya. Dengan munculnya kebutuhan ini manusia termotivasi untuk memenuhinya. Ketika manusia tersebut mempunyai landasan keimanan yang baik maka akan memenuhinya dengan cara-cara yang baik, namun jika iman tidak dijadikan dasar untuk berbuat, maka perbuatan apa pun akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan mencuri, korupsi, risywah (suap atau penyogokan), dan lain sebagainya. Dengan demikian ayat ini mempertegas bahwa Allah mengingatkan manusia untuk menjauhi perbuatan yang buruk dalam memenuhi kebutuhan materielnya. Begitu sebaliknya, Allah mengajarkan untuk menggapai hirarkhi tertinggi kebutuhan manusia yakni aktualisasi diri (the self-actualization needs) yang berupa kesalehan, keikhlasan, dan perbuatan-perbuatan lain yang berorientasi pada sifat ihsan.
Dalam Surah al-Baqarah (2): 188 itu terdapat sighat al-nahyi (lä takulü). Dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan bahwa al-ashl fi al-nahyi li al-tahrim (asal pelarangan itu menunjukkan keharamannya). Dengan demikian, berbagai perbuatan itu dengan tegas terlarang dan hukumnya adalah haram.
Perbuatan memakan harta orang lain dengan tidak halal dan usaha seseorang mencari cara untuk menghalalkannya, seperti perilaku sogok- menyogok dan lain sebagainya telah terjadi semenjak sejarah awal manusia. Penganut agama Yahudi dan penganut agama Nasrani tidak terlepas dari keadaan seperti itu, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya,
يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرُهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang- orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (Q.S. al-Taubah [9]: 34).
Hal itu memang cukup dapat dimengerti karena perilaku manusia salah satunya dibentuk oleh kondisi lingkungan yang melingkupinya. Lingkungan yang buruk akan dapat mempengaruhi perilaku manusia untuk berbuat hal yang buruk. Oleh karena itu, berdakwah demi mengingatkan orang yang lupa dan mengarahkan generasi mendatang untuk menjauh dari kondisi buruk tersebut tidak pernah boleh berhenti sepanjang kehidupan manusia.
Sumber:
Tim Penyusun MTT PP Muhammadiyah, Tafsir at-Tanwir, cet.1, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2022), h. 141-146.